Jalan-jalan

Sepulang dari kantor pos pagi tadi saya menggandeng tangan Rasyad untuk berjalan di sepanjang trotoar jalan besar Kiaracondong. Tentu ini bukan pertama kalinya dia melewati jalan itu, tapi melewatinya dengan menapakkan kaki sendiri di atas tanah memang pengalaman pertama. Dan pengalaman pertama yang membuat dia girang luar biasa.

Begitu saya menurunkannya dari gendongan, dia tersenyum lebar dan mendongakkan kepala ke arah saya sambil mengernyitkan wajah--kebiasaan barunya untuk menunjukkan rasa senang. Kendaraan yang berseliweran sangat ramai tidak membuatnya takut. Dia malah beberapa kali mencoba menarik saya ke arah jalan. Tentu dia pikir lebih asyik kalau dia bisa menyentuh benda yang berlari kencang itu--karena menyentuh adalah salah satu cara dia untuk mengetahui, apalagi kalau sampai berhasil memasukkannya ke mulut dan membantingnya. Tentu saja saya menahan dia ke arah berbeda. Langkahnya terbelokkan ke arah selokan dalam di kiri trotoar. Ada air. Itu sesuatu yang menarik juga. Oh, dia ingin melangkahkan kaki masuk ke dalam jurang itu.
Setiap langkah penuh bahaya baginya, tapi biarlah saya beri sedikit lagi kebebasan buat dia untuk menikmati pengalaman pertama ini. Di bawah pohon-pohon ada sesuatu yang berwarna kuning. Sampah bekas cawan kertas Lipton Tea menarik perhatiannya. Dia ingin memungutnya. Hmmm, saya tahan lagi. Ada daun-daun kering coklat. Itu juga menarik untuk dipegang. Tapi saya tidak membiarkan itu. Dia tidak terlalu marah dilarang ini itu karena perjalanan ini menyuguhkan banyak atraksi menarik lain. Dia belokkan langkahnya ke arah gerbang kompleks Denjasa yang dijagai. Saya hanya menyunggingkan senyum kepada tentara yang ada di pos gardu, mudah-mudahan mereka maklum dengan langkah polos seorang bayi ke arah mereka. Sampai ke mulut jalan Sekejati saya masih membiarkan Rasyad berjalan. Jalan ini tak bertrotoar, tidak aman, terlalu ramai. Tapi kalau saya punya waktu dan energi lebih banyak untuk menjagainya, saya akan membiarkan dia berjalan sampai capek.

Delapan bulan berlalu

Usia satu tahun dua bulan, Rasyad masih belum bisa berjalan. Oh ya, dia senang sekali menarik tangan kita untuk menggiring dia berkeliling ke mana dia suka, tapi begitu kita mencuri kesempatan untuk membiarkan dia berdiri sejenak tanpa berpegangan dia protes, cemas mencari-cari pegangan. Kelihatannya dia bukannya belum bisa berdiri sendiri, hanya belum punya keyakinan diri bahwa dia bisa. Coba saja kalau dia sedang asyik memegang suatu barnag dengan kedua tangannya, dia lupa bahwa dia sedang berdiri tanpa penopang, itu bisa berlangsung sampai hitungan puluhan detik. Tapi begitu kesadaran akan posisi itu tiba, dia segera mencari sandaran. Huwa ha ha... Saya menyebut itu sebuah gejala perfeksionis, tidak berani mencoba, takut gagal. Huh, saya ini penuh prasangka ya. Haha ha lagi.

Berbeda dengan Hanifa yang cepat sekali belajar berjalan. Umur sepuluh bulan sudah berani berdiri tanpa pegangan, umur satu tahun sudah berjalan bebas, berlarian di rumput, bisa kejar-kejaran bola di taman. Siapa bilang anak laki punya perkembangan motorik yang lebih cepat. Tidak terbukti untuk kasus kedua anak ini. Tapi siapa yang butuh manual untuk mengamati perkembangan anak. Mereka punya jalur perkembangan sendiri, berbeda setiap individu.

Rasyad sepertinya sudah mulai menyimpan beberapa patah kata di dalam otaknya. Dia sudah mengenal beberapa kata benda: sepatu, kunci, lampu, sepeda, motor, helm, pintu, kamar mandi, pesawat, komputer, printer, ayah, ibu, kakak. Nama-nama binatang: kucing (favoritnya), kupu-kupu, cecak, belalang, lebah, semut, burung. Kata kerja: pergi, minum, makan, jalan. Dia juga mulai mencoba mengucapkan beberapa patah kata, walaupun bunyinya masih harus kita tebak-tebak dan sebagian besar menghilangkan konsonan: apa, halo, ibu, kakak. Dia akan menyahut kalau dipancing untuk meniru atau menyambung perkataan: Alif, disambutnya dengan bunyi "ba" atau "ta/da". Shalat disambutnya dengan bunyi yang dia rasa mirip dengan "Allahuakbar" dengan bentuk mulut menjadi sangat lonjong.