Dia bisa tertawa terpingkal-pingkal sekarang kalau sedang bermain dengan Hanifa. Bunyi suaranya seperti gemericik air sungai dangkal berbatu, kadang diawali lengkingan tinggi yang menggelikan, membuat kita ikut tertawa, terus meledak seakan-akan ada sesuatu yang sangat mengelitiknya. Hanifa jadi semakin tergoda untuk memancing tawanya, berkejaran, berebut mainan.

Tangan dan kakinya mulai kuat untuk menopang badannya tidak menempel ke lantai terus, tapi masih belum bisa menggerakkannya, dia masih merayap untuk maju dengan kecepatan yang bikin kaget. Dia paling tertarik meraih piring makanan kita. Kalau tidak awas, bisa-bisa isi piring kita sudah ditumpahkannya. Kalau sedang berada dekat meja atau rak, dia coba-coba menjangkau apa-apa yang di atasnya, sepertinya tidak lama lagi dia bisa menopang badannya untuk berdiri dengan berpegangan.

Baru saja saya merasa bisa menangani bayi usia empat bulan yang kalem, sekarang harus belajar lagi untuk menghadapi bayi yang lasak merambah ke mana-mana. Bayi terlalu cepat berubah.
Rasyad mulai bisa "menangis dramatis". Maksudnya, dia bisa menyetel suara tangisnya seolah-olah sesuatu yang begitu menyedihkan sedang terjadi padanya. Tujuannya agar kita buru-buru mendatanginya, menenangkan dan menggendongnya. Manipulatif, ya.

Kalau dia tersentak dari tidurnya dan dia tidak melihat siapa-siapa di dekatnya, dia spontan menangis. Setelah beberapa saat tak ada yang datang, kadang-kadang dia jadi diam sendiri, asyik memperhatikan ruangan, mendekati mainan yang ada di sekitarnya. Tapi begitu kita datang, dia langsung menangis lagi dengan nada yang dramatis itu, nadanya terdengar beda dengan tangisan spontannya yang pertama tadi. Begitu juga kalau dia lagi punya persoalan: mainannya direbut Hanifa atau tergeletak tanpa sengaja dari posisi menelungkup.

Ini sekadar menunjukkan kalau dia sudah mengerti sedikit hukum sebab-akibat dalam dunia kecilnya. "Kalau aku melakukan ini, maka orang di sekitarku akan merespons begini," logika seperti itu sudah tertangkap dalam benaknya. Bukan sebab-akibat untuk hal-hal fisikal saja--"kalau aku menggoyangkan mainan ini, akan terdengar bunyi gemerincing"--tapi juga non-fisik.
Si bayi kecil itu sudah berubah menjadi penjelajah kecil di dunia kecilnya. Dia benar-benar sudah bisa berpindah ke segala arah yang dia inginkan. Dari ujung ke ujung tempat tidur, dari satu ruang ke ruang lain, mengejar mainan yang menarik perhatiannya, berhenti untuk mengamati ruangan atau benda di tangannya, kemudian maju lagi, berputar arah dengan cara bertumpu di atas perutnya.
 
Ya, lutut dan tangannya masih belum bisa menopang tubuhnya. Dia sering berlatih memperkuat ototnya dengan menahan badannya sambil bergoyang di tempat seperti orang sedang mengepel lantai. Tapi begitu mulai ingin maju, tangan dan lututnya jatuh dan dia beringsut, merayap seperti reptil dengan liurnya menetes-netes membasahi dagu dan leher.  Tadi dia merayap sampai ke bawah meja kotatsu dan berhasil membenturkan hidungnya ke kaki meja, menangis.
 
Perkembangan ini memang agak cepat untuk usianya. Saya tidak tahu apa yang membuat dia cepat tiba pada tahap kemampuan fisik yang ini. Mungkin dia tidak sabar melihat kakaknya bisa lari mondar-mandir dengan cepat, hilang muncul dari pandangannya, lenyap ke sisi lain yang tak terlihat olehnya. Barangkali dia jadi ingin cepat-cepat bisa seperti itu.



Saya ternyata tidak boleh terlalu gembira dengan antusiasme Rasyad untuk menerima makanan padat. Setelah hari ketiga saya mencobanya, Rasyad tidak buang air besar sampai empat hari. Ini baru pertama kali terjadi sejak dia lahir. Saya sempat cemas, tidak tahu apa yang harus dilakukan kecuali menunggu. Saya beri dia minum jus apel, yang bisa masuk hanya beberapa tetes dan tidak memberi pengaruh apa-apa. Itu pasti gara-gara kol. Jangan dikasih kol dulu, kata Mas Budi, kol biasanya bikin kembung. Saya malah akhirnya menghentikan dulu pemberian makanan padatnya sampai dia berhasil mengeluarkan kotoran dengan volume extra-large. Saya pun lega. Kol lantas dicabut dari daftar makanannya.
 
Saya juga ternyata harus belajar mengekang antusiasme saya. Suatu kali saya membuat makanan yang masih terlalu kasar buat dia. Bosan juga menunggu wortel sampai sangat lunak. Setengah lunak, terus saya gerus dan disaring, dicampur sedikit tepung jagung. Waktu diberi ke Rasyad, suapan kedua membuat dia marah. Itu tanda saya mesti berhenti memberinya. Saya cicipi sedikit, rupanya si wortelnya masih kurang halus. Dia kesulitan menelannya. Besoknya ketika saya suapi makanan lain, dia menolak, marah, menangis, sepertinya tidak suka lagi dengan urusan menelan makanan ini. Begitu juga dua hari selanjutnya.
 
Wah, bisa-bisa dia punya kesan yang tidak baik tentang makanan. Saya harus membuat dia lupa dulu dengan urusan ini. Seminggu saya libur memberinya makanan dan baru mulai lagi dua hari yang lalu dengan membuatkan makanan yang sangat cair dan lembut. Dia makan dengan tenang dan  cukup banyak. Alhamdulillah. Lagi pula dia sudah makin mendekati usia lima bulan, sudah lebih siap untuk menerima makanan padat. Saya juga mendapatkan bahwa dia lebih suka makanan yang dibuat sendiri daripada yang instan. Produk pabrikan itu agak terlalu asin, memang.