Pagi ini Rasyad menjadi seorang berinspirasi luhur, yang lebih membutuhkan kebebasan daripada makanan, seperti pejuang anti-apartheid atau pelaku mogok makan untuk menolak pembreidelan pers. Dia berjuang untuk kebebasan tangannya. Dia sedang saya bebat erat dalam selimut agar kedua tangannya tidak bebas menggaruki pipinya yang sedang diolesi salep.
Ini tentu keadaan yang sangat tidak nyaman bagi seorang bayi tiga bulan yang sudah aktif menggerakkan tangannya ke mana-mana. Dia berusaha mengeluarkan tangannya dari balutan itu, bergerak ke kiri dan kanan, tapi, untungnya, tidak menangis protes sehingga saya tidak jadi jatuh iba dan melangkah surut. Beberapa kali saya tawari menyusu, dia menolak.
Untuk mengobati pipinya, Rasyad akhirnya dia mendapatkan salep dari dokter, persis sama dengan yang diresepkan untuk Hanifa dulu. Minyak kaca piring (tsubaki abura) yang minggu lalu saya unggulkan sebagai obat mujarab bagi gatal-gatal dan bintik merah di pipi Rasyad terbukti gagal. Pipinya tetap merah, gatalnya bertahan, dan ada bagian yang mulai mengeluarkan cairan, persis seperti yang terjadi pada Hanifa.
Sehari setelah menggunakan salep itu, keadaannya langsung membaik. Wajahnya kini bersih, layaknya bayi, tidak lagi berbintik merah. Jadi pangling. Tapi pemakaiannya masih perlu dilanjutkan beberapa hari lagi, karena gejala gatalnya masih tersisa. Untuk keadaan buruk yang tidak segera hilang seperti ini, memang lebih baik jangan bereksperimen sendiri.
1 komentar:
Posting Komentar