Saya selalu merasa ragu untuk mulai menyapih Rasyad. Pikiran untuk melakukan itu sudah muncul sejak dia berusia satu setengah tahun, karena kakaknya dulu disapih pada usia itu. Tapi, berbeda dengan Hanifa, Rasyad punya masalah berat soal makan. Dia seperti tidak tertarik dan tidak butuh makanan apa pun, diet utama dia adalah ASI. Bangun tidur, menjelang tidur, tengah malam, siang sore sepanjang waktu. Bahkan ASI seperti pelarian dia buat menghadapi frustrasi dan kesakitan.
Saya harus mengakui ada porsi kesalahan saya dalam kegagalan menumbuhkan kebiasaan makannya. Saya teringat ketika dia berusia empat bulan, saya terlalu optimis memberi dia bubur nasi yang masih agak kasar, dan dia menolaknya sejak suapan yang pertama. Saya tidak terlalu gigih mencoba menawari dia berbagai makanan, juga agak lebih malas membuatkan makanan dan variasi makanan untuk dia, tidak seperti ketika Hanifa dulu. Mungkin karena saat ini saya berhadapan dengan dua anak, maka waktu saya untuk mempersiapkan makanan bayi jadi berkurang. Saya teringat betapa waktu Hanifa dulu saya rajin sekali menyediakan jus sayuran untuk Hanifa, membuatkan wortel dan bayam lumat untuk dia santap minimal dua kali sehari sejak dia berusia enam bulan. Rasyad tidak pernah mendapatkan pelayan sebaik itu.
Tapi, sekarang sudah saatnya saya berani menegaskan diri, membulatkan tekad untuk menyapih Rasyad. Perlu dorongan dari luar, mungkin. Dorongan itu datang ketika kami berkonsultasi ke dokter Boed Singadipoera di Kimia Farma Dago. Tujuan kunjungan sebenarnya bukan khusus konsultasi soal gizi, tapi keluah batuk dan sesak napas yang berulang dialami Rasyad. Di akhir kunjungan saya bertanya tentang bagaimana meningkatkan nafsu makan anak, dengan menambahkan informasi bahwa sampai sekarang Rasyad masih banyak minum ASI. Dokter langsung menyambut bahwa pemberian ASI untuk anak seusia ini sudah tidak diperlukan lagi. ASI justru sering menjadi alasan anak untuk tidak mau makan, karena dia selalu merasa kenyang. Anak usia 20 bulan bukan lagi bayi yang sumber utama nutrisinya dari susu. Sumber gizi anak yang sudah bukan bayi lagi adalah makanan padat.
Saya seperti dapat dorongan besar untuk membuat keputusan soal menyapih ini. Saya ingin mulai hari itu juga, tapi tahap pembiasaan dan pengurangan. Tapi Rasyad masih belum sembuh dari batuk dan harus ikut fisioterapi untuk asma bronkhitisnya selama lima hari berturut-turut di RS Advent. Jadi saya putuskan untuk memulainya setelah terapi selesai. Tentu saja reaksi pertamanya adalah marah dan kesal ketika saya selalu mengalihkan perhatiannya ketika dia teringat meminta ASI. Saya bersiap dengan makanan dan minuman yang mungkin disukainya untuk membuat dia cukup kenyang sehingga tidak sampai meminta ASI, tapi ketika dia mengantuk dan lelah, dia sulit sekali untuk dialihkan begitu saja. Suara tangisannya terdengar berbeda ketika itu. Teriakan kesal dan tidak mengerti.
Saya merasa kasihan juga, tapi seperti kata dokter Boed, yang saya hadapi pada saat itu bukanlah kebutuhan nyata nutrisi dia, tapi sekadar egonya yang ingin mendapat pemenuhan dari sumber kesenangannya selama ini. Jadi saya mesti tetap bertahan. Menjelang tidur malam adalah saat-saat yang paling sulit. Dia menolak untuk berada di tempat tidur, mungkin karena berada di situ membuat dia teringat dengan kebiasaan lama yang menyenangkan itu. Dia minta jalan-jalan ke luar kamar, minta digendong terus, sampai kantuk berat menangkap matanya dan tak bisa lagi dilawannya. Tengah malam pun dia terbangun dan kesulitan untuk tidur kembali.
Setelah hari ketiga, agaknya Rasyad mulai masuk ke dalam kebiasaan baru. Dia bisa tertidur tanpa banyak protes, tapi sekarang dia menemukan satu cara baru supaya gampang tertidur: tangannya merogoh ke dalam bagian atas baju saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar