Setiap kelahiran adalah sebuah drama. Drama yang unik, karena tidak seorang pun tahu jalan bagaimana yang akan ditempuh seorang bayi untuk hadir ke dunia. Proses kelahirannya tidak dapat dipastikan. Tak ada yang tahu apakah dia akan segera lahir atau tidak bahkan ketika sang ibu sedang mengalami awal kontraksinya. Drama yang akan senantiasa dikenang, setiap rinciannya direkam, untuk diceritakan kembali sebagai salah satu pengalaman terpenting dalam hidup. Drama yang unik karena menghadirkan individu yang unik ke pentas dunia.

Saya menjalani sebuah drama seperti ini untuk kedua kalinya kemarin. Drama unik itu mencapai klimaksnya pada hari Selasa 17 Februari 2003, pukul 03:18 pagi, dengan kelahiran seorang bayi laki-laki, yang diberi nama Rasyad Dermawan. Dia lahir dengan berat 2914 gram dan panjang 50 cm. Angka-angka ini juga termasuk dari bagian rincian cerita yang direkam dengan cermat. Dan, saya nyaris tidak bisa mengandalkan pengalaman sebelumnya untuk dapat meramalkan sedikit tentang apa yang akan saya alami kini.

Saya tidak yakin apakah ketika kontraksi mulai teratur, saya berarti akan segera melahirkan. Saya masih menunggu tanda-tanda seperti yang saya dapatkan dalam proses melahirkan anak pertama. Tapi ternyata jalannya memang berbeda. Anak kedua ini lahir tanpa didahului tanda-tanda bercak darah, atau keluarnya cairan apa pun. Dia hanya memberi tanda lewat gelombang kontraksi yang datang perlahan seperti tsunami, riak-riak kecil yang kian lama berubah menjadi ombak besar menggulung apa pun yang dilaluinya.

Drama itu berawal pada minggu malam 15 Februari. Saya mulai merasakan kontraksi. Malam itu saya tidak bisa tidur nyenyak, beberapa jam saya lewatkan dengan tidur menyandar di kursi karena punggung saya tidak nyaman. Jarak antara kontraksi tidak teratur, antara 15 sampai 20 menit dan lamanya antara 10-15 detik. Kontraksi ringan ini sempat berhenti sekitar pukul 12 malam hingga 4 pagi, kemudian muncul lagi dengan rasa sakit yang lebih kuat sekitar tengah hari. Saya masih tidak menganggapnya serius--bahkan curiga bahwa yang sedang saya alami ini adalah kontraksi palsu, karena tidak ada tanda-tanda yang lain. Tapi nyeri kontraksi itu bertahan dan terus berulang semakin teratur. Setiap kali gelombang sakit itu datang, saya jadi tidak bisa berbuat apa-apa, terpaku di tempat sambil meregang menahan sakit.

Menjelang sore saya mulai memikirkan kemungkinan bahwa ini memang merupakan tanda awal proses kelahiran. Saya menelepon ke Padang dan meminta saran. Saya pun menelepon teman yang pernah mengalami kontraksi palsu. Mereka semua menyarankan agar saya memeriksakan diri ke dokter atau bidan. Beberapa kali sepanjang hari itu Mas Budi menelepon untuk menanyakan keadaan saya. Saya selalu mengatakan keadaan saya masih baik-baik saja, dan merasa masih jauh dari kemungkinan melahirkan segera. Tapi pada pukul lima sore, saya menelepon ke lab, minta pertimbangan apa yang mesti dilakukan karena kontraksi terasa semakin sering dan nyeri. Mas Budi menyarankan saya menelepon ke bagian obgyn rumahsakit, mereka akan bisa memutuskan apakah saya perlu segera datang ke rumahsakit atau tidak. Mas Budi pulang ke rumah pukul enam. Saya menelepon rumahsakit pukul 6:30, dan kami berangkat ke sana pukul 7 malam itu.

Pemeriksaan pertama mendapatkan bahwa saya sudah mengalami dilatasi dua sentimeter. Malam itu saya dimonitor dengan nonstress test dan masuk ke ruang jintsu (labour room). Pukul sepuluh dilatasi 3 cm. Gelombang tsunami yang mulanya beriak kecil itu terus bergerak, mengumpulkan kekuatan sepanjang jalan, berubah menjadi gelombang besar yang menghanyutkan semua basa-basi, menghantam selama beberapa menit, kemudian surut, menghilang, menjauh, perlahan-lahan datang lagi dengan kekuatan yang makin bertambah. Proses pembukaan jalan lahir berlangsung cepat pada kehamilan kedua ini. Dua jam kemudian saya sudah berada pada tahap dilatasi 7 cm, dan segera bersiap masuk ke ruang bersalin pada pukul 2 pagi.

Kelahiran adalah sebuah peristiwa alam yang agung. Saya, sedapatnya, ingin mengalami proses itu tanpa interupsi medis yang terlalu banyak, untuk bisa merasakan sakitnya dengan penuh, merangkul seluruh pengalaman itu dengan utuh. Tapi ada keadaan tidak terelakkan ketika orang mesti menjalaninya lewat bedah caesar atau menggunakan obat pengurang rasa sakit, seperti yang dilakukan teman sekamar di rumah sakit. Dia menjalani proses bersalin yang singkat dan tidak menyakitkan karena diberi obat. Dia kehilangan sebuah pengalaman yang luar biasa sebagai perempuan.

Mengapa proses melahirkan itu harus ditandai dengan kesakitan yang begitu dahsyat? Barangkali karena itulah harga yang mesti dibayar untuk menembus batas antara ada dan tiada. Ketika sedang menjalani drama itu, saya mengatakan pada diri sendiri, cukuplah pengalaman ini untuk terakhir kalinya. Mengapa menyiksa diri sebegitu berat untuk melahirkan lagi seorang manusia. Rasa sakit yang sedang saya derita saat itu seperti akan terus tersisa. Tapi, Tuhan menganugerahkan kita kemampuan untuk lupa. Hari ini, ketika untuk pertama kalinya saya menimang bayi kecil yang semalam menerobos jalan keluarnya, melihat senyum refleksnya yang tidak ditujukan untuk siapa-siapa, wajahnya yang teduh, saya berpikir, sungguh hadiah yang dahsyat untuk drama yang begitu berat.



Tidak ada komentar: