Mobil besar

Rasyad terkagum-kagum pada mobil besar. Truk, mobil pengaduk semen, truk sampah, mobil boks. Plus vespa. Kalau sedang bepergian dan berpapasan dengan kendaraan itu, dia dengan cepat mengenal kendaraan-kendaraan itu dan menunjuknya sambil bergumam haa, haaa, haaaa dengan nada tinggi.

Ada dua majalah Pooh milik Hanifa yang memuat gambar-gambar berbagai macam benda yang ada di sekitar kehidupan anak usia satu hingga dua tahun. Pada salah satu halamannya terdapat gambar-gambar berbagai jenis mobil besar. Ada truk sampah, mobil pemadam kebakaran, mobil pengangkut mobil, bus, dan mobil pengantar paket. Setiap kali mengambil kedua majalah itu maka Rasyad akan langsung membuka halaman itu saja. Tidak boleh dipindah. Dia mencermati gambar-gambar itu sampai terbungkuk-bungkuk, menunjukki rodanya yang besar-besar. Tak bosan-bosan.

BERJALAN

Rasanya saya ingin berteriak dan mengumumkan ke seluruh dunia bahwa hari ini Rasyad sudah bisa berjalan. Satu tahun dua bulan. Tidak ada kata terlambat tentu saja untuk tahap perkembangan anak. Karena, seperti kata orang, setiap individu itu unik. Tapi dibanding kakaknya memang lebih lambat. hanifa bisa berjalan pada umur 11 bulan.

Sekarang dia tidak perlu lagi terus menerus digendong ke mana-mana. Cara berjalannya masih goyah, pinggulnya seperti tidak kuat untuk menopang berat badannya, jadi pada bagian bawah pinggang itu seperti ada engsel yang mau lepas, kalau dia berjalan terlalu cepat, saya khawatir engsel itu bisa ambruk dan dia terjatuh. melihat dia berjalan membuat kita ingin tertawa, Hanifa menyebut dia berjalan seperti kakek-kakek. Ha ha... Gembiralah pada setiap perkembangan baik seperti ini.

Jalan-jalan

Sepulang dari kantor pos pagi tadi saya menggandeng tangan Rasyad untuk berjalan di sepanjang trotoar jalan besar Kiaracondong. Tentu ini bukan pertama kalinya dia melewati jalan itu, tapi melewatinya dengan menapakkan kaki sendiri di atas tanah memang pengalaman pertama. Dan pengalaman pertama yang membuat dia girang luar biasa.

Begitu saya menurunkannya dari gendongan, dia tersenyum lebar dan mendongakkan kepala ke arah saya sambil mengernyitkan wajah--kebiasaan barunya untuk menunjukkan rasa senang. Kendaraan yang berseliweran sangat ramai tidak membuatnya takut. Dia malah beberapa kali mencoba menarik saya ke arah jalan. Tentu dia pikir lebih asyik kalau dia bisa menyentuh benda yang berlari kencang itu--karena menyentuh adalah salah satu cara dia untuk mengetahui, apalagi kalau sampai berhasil memasukkannya ke mulut dan membantingnya. Tentu saja saya menahan dia ke arah berbeda. Langkahnya terbelokkan ke arah selokan dalam di kiri trotoar. Ada air. Itu sesuatu yang menarik juga. Oh, dia ingin melangkahkan kaki masuk ke dalam jurang itu.
Setiap langkah penuh bahaya baginya, tapi biarlah saya beri sedikit lagi kebebasan buat dia untuk menikmati pengalaman pertama ini. Di bawah pohon-pohon ada sesuatu yang berwarna kuning. Sampah bekas cawan kertas Lipton Tea menarik perhatiannya. Dia ingin memungutnya. Hmmm, saya tahan lagi. Ada daun-daun kering coklat. Itu juga menarik untuk dipegang. Tapi saya tidak membiarkan itu. Dia tidak terlalu marah dilarang ini itu karena perjalanan ini menyuguhkan banyak atraksi menarik lain. Dia belokkan langkahnya ke arah gerbang kompleks Denjasa yang dijagai. Saya hanya menyunggingkan senyum kepada tentara yang ada di pos gardu, mudah-mudahan mereka maklum dengan langkah polos seorang bayi ke arah mereka. Sampai ke mulut jalan Sekejati saya masih membiarkan Rasyad berjalan. Jalan ini tak bertrotoar, tidak aman, terlalu ramai. Tapi kalau saya punya waktu dan energi lebih banyak untuk menjagainya, saya akan membiarkan dia berjalan sampai capek.

Delapan bulan berlalu

Usia satu tahun dua bulan, Rasyad masih belum bisa berjalan. Oh ya, dia senang sekali menarik tangan kita untuk menggiring dia berkeliling ke mana dia suka, tapi begitu kita mencuri kesempatan untuk membiarkan dia berdiri sejenak tanpa berpegangan dia protes, cemas mencari-cari pegangan. Kelihatannya dia bukannya belum bisa berdiri sendiri, hanya belum punya keyakinan diri bahwa dia bisa. Coba saja kalau dia sedang asyik memegang suatu barnag dengan kedua tangannya, dia lupa bahwa dia sedang berdiri tanpa penopang, itu bisa berlangsung sampai hitungan puluhan detik. Tapi begitu kesadaran akan posisi itu tiba, dia segera mencari sandaran. Huwa ha ha... Saya menyebut itu sebuah gejala perfeksionis, tidak berani mencoba, takut gagal. Huh, saya ini penuh prasangka ya. Haha ha lagi.

Berbeda dengan Hanifa yang cepat sekali belajar berjalan. Umur sepuluh bulan sudah berani berdiri tanpa pegangan, umur satu tahun sudah berjalan bebas, berlarian di rumput, bisa kejar-kejaran bola di taman. Siapa bilang anak laki punya perkembangan motorik yang lebih cepat. Tidak terbukti untuk kasus kedua anak ini. Tapi siapa yang butuh manual untuk mengamati perkembangan anak. Mereka punya jalur perkembangan sendiri, berbeda setiap individu.

Rasyad sepertinya sudah mulai menyimpan beberapa patah kata di dalam otaknya. Dia sudah mengenal beberapa kata benda: sepatu, kunci, lampu, sepeda, motor, helm, pintu, kamar mandi, pesawat, komputer, printer, ayah, ibu, kakak. Nama-nama binatang: kucing (favoritnya), kupu-kupu, cecak, belalang, lebah, semut, burung. Kata kerja: pergi, minum, makan, jalan. Dia juga mulai mencoba mengucapkan beberapa patah kata, walaupun bunyinya masih harus kita tebak-tebak dan sebagian besar menghilangkan konsonan: apa, halo, ibu, kakak. Dia akan menyahut kalau dipancing untuk meniru atau menyambung perkataan: Alif, disambutnya dengan bunyi "ba" atau "ta/da". Shalat disambutnya dengan bunyi yang dia rasa mirip dengan "Allahuakbar" dengan bentuk mulut menjadi sangat lonjong.
Merangkaknya sudah "sempurna" sekarang, bukan lagi merayap dengan gaya kupu-kupu. Tangannya sudah ikut melangkah, dia tinggal melatih kecepatannya untuk bisa menang lomba merangkak dengan Hanifa. Dia berusaha memanjati apa saja yang ditemukan dalam perjalanannya: kursi, meja, kasur, atau punggung kita yang lagi duduk di lantai. Dan menjadi omnivora yang memakani apa saja yang dapat dicapai tangannya: sandal, pinggiran karpet, keran, kursi meja atau mouse komputer.

Dia masuk ke tahap baru dalam berebut mainan dengan Hanifa. Tidak bisa lagi menghiburnya dengan menawarkan mainan lain. Kalau mau yang itu ya harus yang itu, dia bertahan memegang apa yang dia inginkan dan menangis marah kalau mainan itu diambil.

Perkembangan kemampuan motorik Rasyad masih terus membuat saya tercengang-cengang. Baru minggu lalu saya bergegas mengambil kamera untuk memotret momen duduknya yang pertama, sekarang dia sudah bisa menegakkan badannya dengan berpegangan di pinggiran meja. Dan saya pun cepat-cepat memotret lagi.

Begitu banyak kemajuan yang terjadi dalam satu bulan ini, dari merayap - merangkak - duduk dan akhirnya berdiri dengan berpegangan. Dia seperti sedang berpacu dengan atlit-atlit Olimpiade Athens itu untuk mengejar kemampuan fisiknya. Semua perkembangan ini dia capai dua bulan lebih cepat dibanding Hanifa dulu. Hanifa baru bisa merayap kemudian menahan badannya dengan empat kaki itu di usia tujuh bulan, dan duduk sempurna di usia delapan bulan.
Seorang teman dulu pernah bilang tidak ada beda antara perkembangan fisik anak perempuan dan laki, tapi umak yang punya tiga anak laki dan tiga anak perempuan bilang anak laki memang lebih lasak dan banyak bergerak. Kita tahu siapa yang mesti kita percayai. Teman itu juga bilang tak ada perlunya membedakan mainan untuk anak laki dan anak perempuan. Tapi saya mendapatkan rasyad benar-benar tidak bergeming ditawari boneka tapi bisa asyik sendirian lama sekali mengutak-atik roda mobil-mobilan dengan jari-jari kecilnya. Mungkin memang karena dia laki-laki maka pertumbuhan kemampuan fisiknya yang cepat membuat saya tercengang-cengang, karena pengalaman saya sebelumnya adalah bersama seorang bayi perempuan.
Ada tiga benda dalam rumah yang sangat membuat Rasyad penasaran: vacuum cleaner, telepon dan botol air minum. Ketiga benda ini seperti monster yang menakjubkannya. Kalau penyedot debu itu dinyalakan, dia jadi panik. Suara kerasnya membuat dia kaget, tapi benda hitam besar yang didorong maju mundur sepanjang ruangan itu menumbuhkan rasa ingin tahunya. Dia bingung antara mau mendekat atau menjauh. Dia terus melirik ke arah suara, tangannya mencengkeram kita erat-erat, wajahnya serius---tapi untungnya tidak sampai menangis ketakutan. Dia tidak takut sih, kayaknya, karena begitu diberi kesempatan untuk memegang benda itu setelah pekerjaan selesai, dia mau memegang dengan tangannya, sementara tampangnya masih tetap serius lucu.