Mirip siapa dia? Sulit untuk menjawabnya. Raut wajah bayi yang masih merah dan montok itu sulit untuk dilihat kemiripannya dengan wajah orang dewasa yang kasar dan penuh garis tajam. Saya lebih gampang mengatakan bahwa wajah Rasyad mirip dengan wajah Hanifa ketika bayi. Foto paspor mereka, jika dijejer, nyaris bisa dibilang merupakan rekaman wajah orang yang sama. tapi, mencari kemiripan dengan kita pada wajah anak sebenarnya bukan untuk keperluan identifikasi. hanya untuk melayani ego kita yang ingin mengabadi dan menjejakkan diri pada sosok yang lebih muda, dan lebih suci itu.
Blog ini berubah nama. Selama saya hamil, alamat webnya adalah lineanigra.blogspot.com, saya menjudulinya sebagai pregnancy journal. Kini diganti menjadi rasyad.blogspot.com, catatan untuk anak kedua. Rupanya belum ada seorang Rasyad lain yang mengambil spot ini.
Kami tidak mempersiapkan nama untuk anak kedua ini secara khusus. Nama Tomi yang sering kami gunakan untuk memanggilnya selama dalam kandungan terasa kurang pas di hati. Hanifa menemukan nama itu dan menggunakannya dengan konsisten untuk mengajak bicara adiknya yang masih di dalam perut. Kami ikut menggunakannya. Belum ada kepastian tentang jenis kelaminnya, tapi Hanifa sejak awal yakin kalau adiknya ini bakalan laki-laki. Dan, nama Tomi rasanya cocok saja waktu itu.
Mas Budi menyiapkan usulan nama untuk anak laki dan perempuan beberapa saat sebelum kami berangkat ke rumahsakit Senin malam. Untuk anak perempuan ada nama Tasnim, dan tiga nama lain. Untuk anak laki ada nama Zia, Aqil, Rasyad, dan satu nama lain. Saya sendiri tidak punya usulan nama. Saya melihat sekilas daftar nama yang ditulis Mas Budi di halaman belakang buku agenda hariannya itu, tapi tidak segera menentukan pilihan meski ada nama-nama yang segera terasa tidak pas dan tidak masuk hitungan, misalnya Tasnim dan Aqil.
Begitu si bayi lahir dan diketahui jenis kelaminnya, Mas Budi berbisik menanyakan nama apa yang saya pilih. "Rasyad," jawab saya tanpa ragu. Jadilah dia bernama Rasyad Dermawan (setelah dikonfirmasikan bahwa transliterasinya menggunakan 'sy' bukan 'sh'), dengan panggilan Tomi yang tetap lekat sampai hari ini.
Kami tidak mempersiapkan nama untuk anak kedua ini secara khusus. Nama Tomi yang sering kami gunakan untuk memanggilnya selama dalam kandungan terasa kurang pas di hati. Hanifa menemukan nama itu dan menggunakannya dengan konsisten untuk mengajak bicara adiknya yang masih di dalam perut. Kami ikut menggunakannya. Belum ada kepastian tentang jenis kelaminnya, tapi Hanifa sejak awal yakin kalau adiknya ini bakalan laki-laki. Dan, nama Tomi rasanya cocok saja waktu itu.
Mas Budi menyiapkan usulan nama untuk anak laki dan perempuan beberapa saat sebelum kami berangkat ke rumahsakit Senin malam. Untuk anak perempuan ada nama Tasnim, dan tiga nama lain. Untuk anak laki ada nama Zia, Aqil, Rasyad, dan satu nama lain. Saya sendiri tidak punya usulan nama. Saya melihat sekilas daftar nama yang ditulis Mas Budi di halaman belakang buku agenda hariannya itu, tapi tidak segera menentukan pilihan meski ada nama-nama yang segera terasa tidak pas dan tidak masuk hitungan, misalnya Tasnim dan Aqil.
Begitu si bayi lahir dan diketahui jenis kelaminnya, Mas Budi berbisik menanyakan nama apa yang saya pilih. "Rasyad," jawab saya tanpa ragu. Jadilah dia bernama Rasyad Dermawan (setelah dikonfirmasikan bahwa transliterasinya menggunakan 'sy' bukan 'sh'), dengan panggilan Tomi yang tetap lekat sampai hari ini.
Setiap kelahiran adalah sebuah drama. Drama yang unik, karena tidak seorang pun tahu jalan bagaimana yang akan ditempuh seorang bayi untuk hadir ke dunia. Proses kelahirannya tidak dapat dipastikan. Tak ada yang tahu apakah dia akan segera lahir atau tidak bahkan ketika sang ibu sedang mengalami awal kontraksinya. Drama yang akan senantiasa dikenang, setiap rinciannya direkam, untuk diceritakan kembali sebagai salah satu pengalaman terpenting dalam hidup. Drama yang unik karena menghadirkan individu yang unik ke pentas dunia.
Saya menjalani sebuah drama seperti ini untuk kedua kalinya kemarin. Drama unik itu mencapai klimaksnya pada hari Selasa 17 Februari 2003, pukul 03:18 pagi, dengan kelahiran seorang bayi laki-laki, yang diberi nama Rasyad Dermawan. Dia lahir dengan berat 2914 gram dan panjang 50 cm. Angka-angka ini juga termasuk dari bagian rincian cerita yang direkam dengan cermat. Dan, saya nyaris tidak bisa mengandalkan pengalaman sebelumnya untuk dapat meramalkan sedikit tentang apa yang akan saya alami kini.
Saya tidak yakin apakah ketika kontraksi mulai teratur, saya berarti akan segera melahirkan. Saya masih menunggu tanda-tanda seperti yang saya dapatkan dalam proses melahirkan anak pertama. Tapi ternyata jalannya memang berbeda. Anak kedua ini lahir tanpa didahului tanda-tanda bercak darah, atau keluarnya cairan apa pun. Dia hanya memberi tanda lewat gelombang kontraksi yang datang perlahan seperti tsunami, riak-riak kecil yang kian lama berubah menjadi ombak besar menggulung apa pun yang dilaluinya.
Drama itu berawal pada minggu malam 15 Februari. Saya mulai merasakan kontraksi. Malam itu saya tidak bisa tidur nyenyak, beberapa jam saya lewatkan dengan tidur menyandar di kursi karena punggung saya tidak nyaman. Jarak antara kontraksi tidak teratur, antara 15 sampai 20 menit dan lamanya antara 10-15 detik. Kontraksi ringan ini sempat berhenti sekitar pukul 12 malam hingga 4 pagi, kemudian muncul lagi dengan rasa sakit yang lebih kuat sekitar tengah hari. Saya masih tidak menganggapnya serius--bahkan curiga bahwa yang sedang saya alami ini adalah kontraksi palsu, karena tidak ada tanda-tanda yang lain. Tapi nyeri kontraksi itu bertahan dan terus berulang semakin teratur. Setiap kali gelombang sakit itu datang, saya jadi tidak bisa berbuat apa-apa, terpaku di tempat sambil meregang menahan sakit.
Menjelang sore saya mulai memikirkan kemungkinan bahwa ini memang merupakan tanda awal proses kelahiran. Saya menelepon ke Padang dan meminta saran. Saya pun menelepon teman yang pernah mengalami kontraksi palsu. Mereka semua menyarankan agar saya memeriksakan diri ke dokter atau bidan. Beberapa kali sepanjang hari itu Mas Budi menelepon untuk menanyakan keadaan saya. Saya selalu mengatakan keadaan saya masih baik-baik saja, dan merasa masih jauh dari kemungkinan melahirkan segera. Tapi pada pukul lima sore, saya menelepon ke lab, minta pertimbangan apa yang mesti dilakukan karena kontraksi terasa semakin sering dan nyeri. Mas Budi menyarankan saya menelepon ke bagian obgyn rumahsakit, mereka akan bisa memutuskan apakah saya perlu segera datang ke rumahsakit atau tidak. Mas Budi pulang ke rumah pukul enam. Saya menelepon rumahsakit pukul 6:30, dan kami berangkat ke sana pukul 7 malam itu.
Pemeriksaan pertama mendapatkan bahwa saya sudah mengalami dilatasi dua sentimeter. Malam itu saya dimonitor dengan nonstress test dan masuk ke ruang jintsu (labour room). Pukul sepuluh dilatasi 3 cm. Gelombang tsunami yang mulanya beriak kecil itu terus bergerak, mengumpulkan kekuatan sepanjang jalan, berubah menjadi gelombang besar yang menghanyutkan semua basa-basi, menghantam selama beberapa menit, kemudian surut, menghilang, menjauh, perlahan-lahan datang lagi dengan kekuatan yang makin bertambah. Proses pembukaan jalan lahir berlangsung cepat pada kehamilan kedua ini. Dua jam kemudian saya sudah berada pada tahap dilatasi 7 cm, dan segera bersiap masuk ke ruang bersalin pada pukul 2 pagi.
Kelahiran adalah sebuah peristiwa alam yang agung. Saya, sedapatnya, ingin mengalami proses itu tanpa interupsi medis yang terlalu banyak, untuk bisa merasakan sakitnya dengan penuh, merangkul seluruh pengalaman itu dengan utuh. Tapi ada keadaan tidak terelakkan ketika orang mesti menjalaninya lewat bedah caesar atau menggunakan obat pengurang rasa sakit, seperti yang dilakukan teman sekamar di rumah sakit. Dia menjalani proses bersalin yang singkat dan tidak menyakitkan karena diberi obat. Dia kehilangan sebuah pengalaman yang luar biasa sebagai perempuan.
Mengapa proses melahirkan itu harus ditandai dengan kesakitan yang begitu dahsyat? Barangkali karena itulah harga yang mesti dibayar untuk menembus batas antara ada dan tiada. Ketika sedang menjalani drama itu, saya mengatakan pada diri sendiri, cukuplah pengalaman ini untuk terakhir kalinya. Mengapa menyiksa diri sebegitu berat untuk melahirkan lagi seorang manusia. Rasa sakit yang sedang saya derita saat itu seperti akan terus tersisa. Tapi, Tuhan menganugerahkan kita kemampuan untuk lupa. Hari ini, ketika untuk pertama kalinya saya menimang bayi kecil yang semalam menerobos jalan keluarnya, melihat senyum refleksnya yang tidak ditujukan untuk siapa-siapa, wajahnya yang teduh, saya berpikir, sungguh hadiah yang dahsyat untuk drama yang begitu berat.
Saya menjalani sebuah drama seperti ini untuk kedua kalinya kemarin. Drama unik itu mencapai klimaksnya pada hari Selasa 17 Februari 2003, pukul 03:18 pagi, dengan kelahiran seorang bayi laki-laki, yang diberi nama Rasyad Dermawan. Dia lahir dengan berat 2914 gram dan panjang 50 cm. Angka-angka ini juga termasuk dari bagian rincian cerita yang direkam dengan cermat. Dan, saya nyaris tidak bisa mengandalkan pengalaman sebelumnya untuk dapat meramalkan sedikit tentang apa yang akan saya alami kini.
Saya tidak yakin apakah ketika kontraksi mulai teratur, saya berarti akan segera melahirkan. Saya masih menunggu tanda-tanda seperti yang saya dapatkan dalam proses melahirkan anak pertama. Tapi ternyata jalannya memang berbeda. Anak kedua ini lahir tanpa didahului tanda-tanda bercak darah, atau keluarnya cairan apa pun. Dia hanya memberi tanda lewat gelombang kontraksi yang datang perlahan seperti tsunami, riak-riak kecil yang kian lama berubah menjadi ombak besar menggulung apa pun yang dilaluinya.
Drama itu berawal pada minggu malam 15 Februari. Saya mulai merasakan kontraksi. Malam itu saya tidak bisa tidur nyenyak, beberapa jam saya lewatkan dengan tidur menyandar di kursi karena punggung saya tidak nyaman. Jarak antara kontraksi tidak teratur, antara 15 sampai 20 menit dan lamanya antara 10-15 detik. Kontraksi ringan ini sempat berhenti sekitar pukul 12 malam hingga 4 pagi, kemudian muncul lagi dengan rasa sakit yang lebih kuat sekitar tengah hari. Saya masih tidak menganggapnya serius--bahkan curiga bahwa yang sedang saya alami ini adalah kontraksi palsu, karena tidak ada tanda-tanda yang lain. Tapi nyeri kontraksi itu bertahan dan terus berulang semakin teratur. Setiap kali gelombang sakit itu datang, saya jadi tidak bisa berbuat apa-apa, terpaku di tempat sambil meregang menahan sakit.
Menjelang sore saya mulai memikirkan kemungkinan bahwa ini memang merupakan tanda awal proses kelahiran. Saya menelepon ke Padang dan meminta saran. Saya pun menelepon teman yang pernah mengalami kontraksi palsu. Mereka semua menyarankan agar saya memeriksakan diri ke dokter atau bidan. Beberapa kali sepanjang hari itu Mas Budi menelepon untuk menanyakan keadaan saya. Saya selalu mengatakan keadaan saya masih baik-baik saja, dan merasa masih jauh dari kemungkinan melahirkan segera. Tapi pada pukul lima sore, saya menelepon ke lab, minta pertimbangan apa yang mesti dilakukan karena kontraksi terasa semakin sering dan nyeri. Mas Budi menyarankan saya menelepon ke bagian obgyn rumahsakit, mereka akan bisa memutuskan apakah saya perlu segera datang ke rumahsakit atau tidak. Mas Budi pulang ke rumah pukul enam. Saya menelepon rumahsakit pukul 6:30, dan kami berangkat ke sana pukul 7 malam itu.
Pemeriksaan pertama mendapatkan bahwa saya sudah mengalami dilatasi dua sentimeter. Malam itu saya dimonitor dengan nonstress test dan masuk ke ruang jintsu (labour room). Pukul sepuluh dilatasi 3 cm. Gelombang tsunami yang mulanya beriak kecil itu terus bergerak, mengumpulkan kekuatan sepanjang jalan, berubah menjadi gelombang besar yang menghanyutkan semua basa-basi, menghantam selama beberapa menit, kemudian surut, menghilang, menjauh, perlahan-lahan datang lagi dengan kekuatan yang makin bertambah. Proses pembukaan jalan lahir berlangsung cepat pada kehamilan kedua ini. Dua jam kemudian saya sudah berada pada tahap dilatasi 7 cm, dan segera bersiap masuk ke ruang bersalin pada pukul 2 pagi.
Kelahiran adalah sebuah peristiwa alam yang agung. Saya, sedapatnya, ingin mengalami proses itu tanpa interupsi medis yang terlalu banyak, untuk bisa merasakan sakitnya dengan penuh, merangkul seluruh pengalaman itu dengan utuh. Tapi ada keadaan tidak terelakkan ketika orang mesti menjalaninya lewat bedah caesar atau menggunakan obat pengurang rasa sakit, seperti yang dilakukan teman sekamar di rumah sakit. Dia menjalani proses bersalin yang singkat dan tidak menyakitkan karena diberi obat. Dia kehilangan sebuah pengalaman yang luar biasa sebagai perempuan.
Mengapa proses melahirkan itu harus ditandai dengan kesakitan yang begitu dahsyat? Barangkali karena itulah harga yang mesti dibayar untuk menembus batas antara ada dan tiada. Ketika sedang menjalani drama itu, saya mengatakan pada diri sendiri, cukuplah pengalaman ini untuk terakhir kalinya. Mengapa menyiksa diri sebegitu berat untuk melahirkan lagi seorang manusia. Rasa sakit yang sedang saya derita saat itu seperti akan terus tersisa. Tapi, Tuhan menganugerahkan kita kemampuan untuk lupa. Hari ini, ketika untuk pertama kalinya saya menimang bayi kecil yang semalam menerobos jalan keluarnya, melihat senyum refleksnya yang tidak ditujukan untuk siapa-siapa, wajahnya yang teduh, saya berpikir, sungguh hadiah yang dahsyat untuk drama yang begitu berat.
Hari-hari terakhir menjelang kelahiran. Badan semakin terasa tidak nyaman. Melangkah terasa berat, duduk tidak bisa berlama-lama, untuk bangkit kembali butuh penyangga. Perut bagian bawah sering nyeri, pangkal paha seperti mendapat tekanan yang kuat sehingga kaki-kaki perlu sedikit membuka lebar ketika berjalan dan digerakkan dengan pelan, atau bahkan berhenti sebentar untuk menunggu denyut-denyut nyerinya hilang. Saya kadang-kadang merasa seperti sudah akan melahirkan dalam beberapa jam lagi, karena rasa nyeri yang sesekali muncul itu membuat saya teringat saat saya melangkah masuk ke ruang bersalin pada dini hari menjelang melahirkan Hanifa.
Hari-hari ini saya berusaha mengingat kembali peristiwa apa saja yang mendahului proses bersalin yang pertama itu. Tidak ada catatan, saya hampir melupakannya. Yang paling jelas saya ingat adalah peristiwa pada Senin malam menjelang tidur, keluarnya cairan bening yang cukup banyak. Saya panik, membangunkan Mas Budi. Dalam ketidaktahuan kami menduga bahwa itu adalah air ketuban. Kami menelepon ke Padang dan diberi tahu bahwa pecahnya ketuban berarti kelahiran sudah dekat, saya harus segera dibawa ke rumah sakit. Tapi kalau itu air ketuban, alirannya tidak akan berhenti. Kontraksi belum terasakan. Kami menghubungi rumah sakit dan datang ke sana setelah subuh. Pemeriksaan oleh suster menegaskan bahwa saya baru mengalami bukaan dua, dan cairan yang keluar itu bukanlah air ketuban. Mungkin itu yang disebut mucuous plug.
Saya berusaha mengingat lagi apa yang terjadi pada pagi atau sepanjang hari sebelum kebocoran malam itu. Rasanya saya tidak mengalami sesuatu yang bisa disebut sebagai tanda-tanda menjelang kelahiran. Sekali lagi, karena tidak ada catatannya saya sulit mengingat dengan persis. Tidak ada yang terlalu berkesan. Tapi barangkali ini indikasi bahwa mungkin memang tidak terjadi apa-apa pada hari itu. Semua berlangsung biasa, saya tidak mengalami rasa sakit yang mengganggu atau melihat bercak darah. Atau iya? Saya tidak terlalu ingat, tapi rasa-rasanya ada bercak darah satu atau dua hari sebelumnya. Mungkin. Ada sedikit ingatan tentang peristiwa yang seperti itu, yang rasanya terlepas dari waktu tapi pernah saya alami. Barangkali kedua peristiwa itu terkait. Sedikitnya ini memberi saya petunjuk untuk mewaspadai tanda-tanda seperti munculnya bercak darah dan lendir bening mendahului kontraksi.
Kemarin malam, ketika badan saya terasa begitu capek dan nyeri perut terasa seperti awal kontraksi, saya membayangkan apa yang mesti saya lakukan pertama kali kalau ternyata persalinan akan terjadi besok. Persalinan kedua, konon, bisa berlangsung lebih cepat. Kalau kontraksi mulai terjadi di awal malam, mungkin saja dalam 4-5 jam kemudian bayi akan lahir. Kami harus cepat bertindak.
Yang paling saya khawatirkan adalah bagaimana dengan Hanifa. Saya harus mempersiapkan dia untuk dititip di tempat teman, membuat suasana hatinya sedikit tenang tentang masa penantiannya di sana. Dia kelihatan sedih sekali setiap kali bertanya soal ini. Kalimat yang sering diulangnya, "Tapi kan Hanifa ingin ketemu ibu waktu ibu melahirkan." Ini harus dijalani, pahit, pedih, berat, dan mudah-mudahan hanya singkat.
*** Catatan: Hari ini, pada pukul satu pagi tadi, telah lahir anak keempatnya Mbak Yani (perempuan 2,718 kg 49 cm)--teman seperjuangan di masa hamil, bersama Via yang sudah melewati proses bersalinnya lebih awal lagi, tanggal 4 Februari. Kami bertiga bergiliran melahirkan dalam bulan ini.
Hari-hari ini saya berusaha mengingat kembali peristiwa apa saja yang mendahului proses bersalin yang pertama itu. Tidak ada catatan, saya hampir melupakannya. Yang paling jelas saya ingat adalah peristiwa pada Senin malam menjelang tidur, keluarnya cairan bening yang cukup banyak. Saya panik, membangunkan Mas Budi. Dalam ketidaktahuan kami menduga bahwa itu adalah air ketuban. Kami menelepon ke Padang dan diberi tahu bahwa pecahnya ketuban berarti kelahiran sudah dekat, saya harus segera dibawa ke rumah sakit. Tapi kalau itu air ketuban, alirannya tidak akan berhenti. Kontraksi belum terasakan. Kami menghubungi rumah sakit dan datang ke sana setelah subuh. Pemeriksaan oleh suster menegaskan bahwa saya baru mengalami bukaan dua, dan cairan yang keluar itu bukanlah air ketuban. Mungkin itu yang disebut mucuous plug.
Saya berusaha mengingat lagi apa yang terjadi pada pagi atau sepanjang hari sebelum kebocoran malam itu. Rasanya saya tidak mengalami sesuatu yang bisa disebut sebagai tanda-tanda menjelang kelahiran. Sekali lagi, karena tidak ada catatannya saya sulit mengingat dengan persis. Tidak ada yang terlalu berkesan. Tapi barangkali ini indikasi bahwa mungkin memang tidak terjadi apa-apa pada hari itu. Semua berlangsung biasa, saya tidak mengalami rasa sakit yang mengganggu atau melihat bercak darah. Atau iya? Saya tidak terlalu ingat, tapi rasa-rasanya ada bercak darah satu atau dua hari sebelumnya. Mungkin. Ada sedikit ingatan tentang peristiwa yang seperti itu, yang rasanya terlepas dari waktu tapi pernah saya alami. Barangkali kedua peristiwa itu terkait. Sedikitnya ini memberi saya petunjuk untuk mewaspadai tanda-tanda seperti munculnya bercak darah dan lendir bening mendahului kontraksi.
Kemarin malam, ketika badan saya terasa begitu capek dan nyeri perut terasa seperti awal kontraksi, saya membayangkan apa yang mesti saya lakukan pertama kali kalau ternyata persalinan akan terjadi besok. Persalinan kedua, konon, bisa berlangsung lebih cepat. Kalau kontraksi mulai terjadi di awal malam, mungkin saja dalam 4-5 jam kemudian bayi akan lahir. Kami harus cepat bertindak.
Yang paling saya khawatirkan adalah bagaimana dengan Hanifa. Saya harus mempersiapkan dia untuk dititip di tempat teman, membuat suasana hatinya sedikit tenang tentang masa penantiannya di sana. Dia kelihatan sedih sekali setiap kali bertanya soal ini. Kalimat yang sering diulangnya, "Tapi kan Hanifa ingin ketemu ibu waktu ibu melahirkan." Ini harus dijalani, pahit, pedih, berat, dan mudah-mudahan hanya singkat.
*** Catatan: Hari ini, pada pukul satu pagi tadi, telah lahir anak keempatnya Mbak Yani (perempuan 2,718 kg 49 cm)--teman seperjuangan di masa hamil, bersama Via yang sudah melewati proses bersalinnya lebih awal lagi, tanggal 4 Februari. Kami bertiga bergiliran melahirkan dalam bulan ini.
Minggu ke 37 plus 6 hari. Hasil pemeriksaan hari ini mencatat berat janin 2,785 gram. FL 69mm, BPD 90mm, FTA 77cm persegi. Hanifa lahir pada minggu ke 39 plus 1 hari. Itu berarti kurang dari dua pekan dari sekarang. Konon anak kedua lahir lebih cepat dari anak pertama, berarti saya harus siap untuk peristiwa besar itu dalam satu pekan di depan. Dokter Sasaki tadi juga berpesan, kelahiran dapat terjadi sewaktu-waktu saat ini. Ini yang memenuhi kepala saya sekarang, debar-debar menunggu tugas berisiko tinggi ini, debar-debar menunggu hadirnya seorang manusia baru di antara kami. Ya, Allah. Engkau yang menciptakan makhluk dengan kejadian yang sebaik-baiknya. Engkau yang mengeluarkan janin-janin dari perut ibunya. Mudahkanlah proses kelahirannya, ya Rahiim (yang saya maksud tercakup dalam paket "mudah" ini adalah, semoga, prosesnya berlangsung di siang hari dan singkat, supaya urusan menitipkan Hanifa pun menjadi lebih mudah).
Dua minggu yang terasa lama sekali. Mungkinkah dia akan lahir dalam waktu dua minggu lagi? Apakah akan lebih cepat, atau lebih lambat? Tidak seorang pun bisa memastikannya. Menurut buku What to Expect, jangan percaya kalau dokter mengatakan dia tahu pasti kapan si bayi akan lahir. Ini rahasia Tuhan yang disimpan sangat rapat, seperti ujung takdir yang satunya: kematian.
Pada minggu-minggu ini pertumbuhan janin tidak lagi pesat, organ tubuhnya sudah lengkap. Alat pernapasannya sudah siap untuk mengantar dia hidup di luar janin. Penglihatan dan alat indera lainnya sudah selesai. Sel otak juga siap dengan synapses yang tinggal menunggu stimulus dari luar untuk mengembangkan jaringannya. Semoga dia tumbuh normal dalam segala sesuatunya. Saat ini dia hanya bertambah berat, menebalkan lapisan lemak untuk menahan suhu badannya, bulu-bulu halus lanugo di tubuhnya mulai rontok kecuali di bagian atas bahu dan punggung, dia mulai mendesak turun ke jalan lahir. Yang perlu dipantau pada minggu-minggu terakhir ini adalah gerakannya, adakah normal, bertambah atau berkurang.
Saya pun sudah menyiapkan diri untuk berangkat ke rumah sakit sewaktu-waktu. Koper diisi lengkap dengan kebutuhan selama menginap di rumah sakit, surat-surat dan daftar nomor telepon. Perlengkapan untuk menitipkan Hanifa di rumah Mbak Wiwit. Saya bahkan sudah menyelesaikan order terjemahan Mizan yang deadlinenya masih satu bulan lagi. Yah, memang, ini seperti menyongsong sebuah jihad, kata Mbak Yani. Entah apa yang akan terjadi. Ambil risiko. Hanya itu jalan yang mengantar kita pada sebuah keadaan lain, perubahan, pertumbuhan.
Pada minggu-minggu ini pertumbuhan janin tidak lagi pesat, organ tubuhnya sudah lengkap. Alat pernapasannya sudah siap untuk mengantar dia hidup di luar janin. Penglihatan dan alat indera lainnya sudah selesai. Sel otak juga siap dengan synapses yang tinggal menunggu stimulus dari luar untuk mengembangkan jaringannya. Semoga dia tumbuh normal dalam segala sesuatunya. Saat ini dia hanya bertambah berat, menebalkan lapisan lemak untuk menahan suhu badannya, bulu-bulu halus lanugo di tubuhnya mulai rontok kecuali di bagian atas bahu dan punggung, dia mulai mendesak turun ke jalan lahir. Yang perlu dipantau pada minggu-minggu terakhir ini adalah gerakannya, adakah normal, bertambah atau berkurang.
Saya pun sudah menyiapkan diri untuk berangkat ke rumah sakit sewaktu-waktu. Koper diisi lengkap dengan kebutuhan selama menginap di rumah sakit, surat-surat dan daftar nomor telepon. Perlengkapan untuk menitipkan Hanifa di rumah Mbak Wiwit. Saya bahkan sudah menyelesaikan order terjemahan Mizan yang deadlinenya masih satu bulan lagi. Yah, memang, ini seperti menyongsong sebuah jihad, kata Mbak Yani. Entah apa yang akan terjadi. Ambil risiko. Hanya itu jalan yang mengantar kita pada sebuah keadaan lain, perubahan, pertumbuhan.
Malam ini, gerakannya terasa sangat banyak, terlalu banyak. Permukaan perut saya seperti bergelombang. Dia bergerak ke kanan dan ke kiri dengan cepat. Gerakan janin yang terlalu banyak bisa jadi pertanda ada sesuatu yang tidak beres. Ini membuat saya khawatir lagi tentang keadaannya. Adakah terjadi sesuatu yang buruk padanya? Entahlah. Saya akan tunggu sampai beberapa jam lagi, biasanya dia memang bergerak banyak setelah saya makan malam, dan berkurang ketika saya mulai berbaring. Kalau tetap ada yang terasa tidak normal, saya akan menanyakannya pada dokter dalam kunjungan rutin Selasa lusa.