Awan di buku dan di langitmu

Kamu selalu minta dibacakan buku yang sama ketika kantuk mulai menggelayuti mata. Rupanya kamu sudah punya selera walau usiamu masih dua. Pilihanmu saat ini adalah serial cerita barbapapa, makhluk bundar lonjong yang bisa berubah rupa. Ini cerita zaman dulu punya, karya dua pengarang Perancis tahun tujuh puluh tiga.
Kukira kamu tentu sudah hapal ceritanya, tapi tak jemu minta diulang juga. Tujuh anak barbapapa berpiknik di kaki gunung. Ketika sedang bermain di sungai, si anjing kesayangan menyelusup masuk keranjang makanan. Seekor elang menyambar dan menerbangkan keranjang ke sarangnya di puncak gunung. Tujuh anak barbapapa mengejar untuk menyelamatkan. Mereka akhirnya berpiknik di puncak gunung, berbagi makanan dengan anak elang yang kelaparan. Namun ketika akan turun, awan tebal menghadang, jalan pulang tak kelihatan. Tujuh anak barbapapa berubah bentuk menjadi balon terbang, pulang melintasi awan-awan.
Suatu siang terang ketika kamu sedang bermain, hari tiba-tiba kelam. Angin mengirim awan hitam. Menengadah, kamu berkata, Bu, awan hitam datang, kita pulang dengan balon terbang saja. Aku tersenyum. Lihat, betapa cerita yang diulang itu membekaskan sesuatu di benakmu. Kamu telah membuktikan sendiri ujaran Hayakawa yang sering dikutip orang: Membaca membuat kita bisa menjalani berapa pun jenis kehidupan yang kita inginkan.

Tugas sederhana

Menakjubkan rasanya pertama kali menemukan bahwa si bayi kecil ini sudah mulai mengerti beberapa perkataan kita dan bisa melakukan perintah-perintah sederhana. Mulai berusia satu setengah tahun, Rasyad mulai mengenal beberapa kata nama-nama benda, seperti lampu, pintu, kunci, sepatu, topi, komputer, bantal, sepeda, mobil, vespa, buku, kasur, bunga, kupu-kupu, capung, cicak, kucing, sapi, jerapah, ikan, ayam, tempat sampah, nama-nama anggota badannya dan tentu saja ibu, ayah, kakak, dan nenek. Dia bisa menunjuk benda-benda tersebut dengan benar, dan dia suka diminta untuk menunjukkan itu. Permainan tunjuk gambar menjadi sebuah kegembiraan tersendiri baginya. Poster di dinding atau buku  bergambar menjadi favorit dalam permainan ini.

Sekarang, setelah mengenal nama-nama benda, dia mulai mengerti kata kerja: minum, makan, berdiri, duduk, tidur, jalan, ambil, naik, baca. Dan dia bisa mengerti beberapa perintah sederhana. Dia sudah bisa dimintai tolong untuk membuangkan sampah ke tempatnya, mengambilkan sepatu atau buku, mengambilkan botol minum ibu, mengembalikan gunting ke tempatnya. Dia kelihatan senang bisa melakukan perintah-perintah kecil itu. Dia melakukannya sambil tersenyum-senyum sepanjang jalannya ke tempat sampah, dan setelah selesai melakukan perintah itu dia kembali dengan menunjukkan senyum yang makin lebar. Sepertinya dia bangga sekali dengan keberhasilan kecilnya.

Itulah yang menakjubkan, menyaksikan betapa otak di dalam kepalanya perlahan-lahan terisi oleh kata-kata dan citra-citra. Semua berlangsung dalam proses yang tidak disengaja, tidak disadari. betapa kita mesti berhati-hati kalau-kalau kita menanamkan secara tidak sengaja dan tidak disadari sesuati yang buruk untuk direkamnya di dalam otak yang sedang sangat mudah menyimpan dan menyerap itu. Apa yang sudah menjadi bawaan kitalah yang sebenarnya kita transfer kepada anak, karena kita tidak bisa senantiasa waspada tentang apa yang kita alirkan kepadanya dalam keseharian kita. Banyak-banyaklah tersenyum sambil berdoa semoga Allah memberi kita limpahan kesabaran untuk berhadapan dengan anak.

Disapih

Saya selalu merasa ragu untuk mulai menyapih Rasyad. Pikiran untuk melakukan itu sudah muncul sejak dia berusia satu setengah tahun, karena kakaknya dulu disapih pada usia itu. Tapi, berbeda dengan Hanifa, Rasyad punya masalah berat soal makan. Dia seperti tidak tertarik dan tidak butuh makanan apa pun, diet utama dia adalah ASI. Bangun tidur, menjelang tidur, tengah malam, siang sore sepanjang waktu. Bahkan ASI seperti pelarian dia buat menghadapi frustrasi dan kesakitan.

Saya harus mengakui ada porsi kesalahan saya dalam kegagalan menumbuhkan kebiasaan makannya. Saya teringat ketika dia berusia empat bulan, saya terlalu optimis memberi dia bubur nasi yang masih agak kasar, dan dia menolaknya sejak suapan yang pertama. Saya tidak terlalu gigih mencoba menawari dia berbagai makanan, juga agak lebih malas membuatkan makanan dan variasi makanan untuk dia, tidak seperti ketika Hanifa dulu. Mungkin karena saat ini saya berhadapan dengan dua anak, maka waktu saya untuk mempersiapkan makanan bayi jadi berkurang. Saya teringat betapa waktu Hanifa dulu saya rajin sekali menyediakan jus sayuran untuk Hanifa, membuatkan wortel dan bayam lumat untuk dia santap minimal dua kali sehari sejak dia berusia enam bulan. Rasyad tidak pernah mendapatkan pelayan sebaik itu.

Tapi, sekarang sudah saatnya saya berani menegaskan diri, membulatkan tekad untuk menyapih Rasyad. Perlu dorongan dari luar, mungkin. Dorongan itu datang ketika kami berkonsultasi ke dokter Boed Singadipoera di Kimia Farma Dago. Tujuan kunjungan sebenarnya bukan khusus konsultasi soal gizi, tapi keluah batuk dan sesak napas yang berulang dialami Rasyad. Di akhir kunjungan saya bertanya tentang bagaimana meningkatkan nafsu makan anak, dengan menambahkan informasi bahwa sampai sekarang Rasyad masih banyak minum ASI. Dokter langsung menyambut bahwa pemberian ASI untuk anak seusia ini sudah tidak diperlukan lagi. ASI justru sering menjadi alasan anak untuk tidak mau makan, karena dia selalu merasa kenyang. Anak usia 20 bulan bukan lagi bayi yang sumber utama nutrisinya dari susu. Sumber gizi anak yang sudah bukan bayi lagi adalah makanan padat.

Saya seperti dapat dorongan besar untuk membuat keputusan soal menyapih ini. Saya ingin mulai hari itu juga, tapi tahap pembiasaan dan pengurangan. Tapi Rasyad masih belum sembuh dari batuk dan harus ikut fisioterapi untuk asma bronkhitisnya selama lima hari berturut-turut di RS Advent. Jadi saya putuskan untuk memulainya setelah terapi selesai. Tentu saja reaksi pertamanya adalah marah dan kesal ketika saya selalu mengalihkan perhatiannya ketika dia teringat meminta ASI. Saya bersiap dengan makanan dan minuman yang mungkin disukainya untuk membuat dia cukup kenyang sehingga tidak sampai meminta ASI, tapi ketika dia mengantuk dan lelah, dia sulit sekali untuk dialihkan begitu saja. Suara tangisannya terdengar berbeda ketika itu. Teriakan kesal dan tidak mengerti. 

Saya merasa kasihan juga, tapi seperti kata dokter Boed, yang saya hadapi pada saat itu bukanlah kebutuhan nyata nutrisi dia, tapi sekadar egonya yang ingin mendapat pemenuhan dari sumber kesenangannya selama ini. Jadi saya mesti tetap bertahan. Menjelang tidur malam adalah saat-saat yang paling sulit. Dia menolak untuk berada di tempat tidur, mungkin karena berada di situ membuat dia teringat dengan kebiasaan lama yang menyenangkan itu. Dia minta jalan-jalan ke luar kamar, minta digendong terus, sampai kantuk berat menangkap matanya dan tak bisa lagi dilawannya. Tengah malam pun dia terbangun dan kesulitan untuk tidur kembali.

Setelah hari ketiga, agaknya Rasyad mulai masuk ke dalam kebiasaan baru. Dia bisa tertidur tanpa banyak protes, tapi sekarang dia menemukan satu cara baru supaya gampang tertidur: tangannya merogoh ke dalam bagian atas baju saya.


Mobil besar

Rasyad terkagum-kagum pada mobil besar. Truk, mobil pengaduk semen, truk sampah, mobil boks. Plus vespa. Kalau sedang bepergian dan berpapasan dengan kendaraan itu, dia dengan cepat mengenal kendaraan-kendaraan itu dan menunjuknya sambil bergumam haa, haaa, haaaa dengan nada tinggi.

Ada dua majalah Pooh milik Hanifa yang memuat gambar-gambar berbagai macam benda yang ada di sekitar kehidupan anak usia satu hingga dua tahun. Pada salah satu halamannya terdapat gambar-gambar berbagai jenis mobil besar. Ada truk sampah, mobil pemadam kebakaran, mobil pengangkut mobil, bus, dan mobil pengantar paket. Setiap kali mengambil kedua majalah itu maka Rasyad akan langsung membuka halaman itu saja. Tidak boleh dipindah. Dia mencermati gambar-gambar itu sampai terbungkuk-bungkuk, menunjukki rodanya yang besar-besar. Tak bosan-bosan.

BERJALAN

Rasanya saya ingin berteriak dan mengumumkan ke seluruh dunia bahwa hari ini Rasyad sudah bisa berjalan. Satu tahun dua bulan. Tidak ada kata terlambat tentu saja untuk tahap perkembangan anak. Karena, seperti kata orang, setiap individu itu unik. Tapi dibanding kakaknya memang lebih lambat. hanifa bisa berjalan pada umur 11 bulan.

Sekarang dia tidak perlu lagi terus menerus digendong ke mana-mana. Cara berjalannya masih goyah, pinggulnya seperti tidak kuat untuk menopang berat badannya, jadi pada bagian bawah pinggang itu seperti ada engsel yang mau lepas, kalau dia berjalan terlalu cepat, saya khawatir engsel itu bisa ambruk dan dia terjatuh. melihat dia berjalan membuat kita ingin tertawa, Hanifa menyebut dia berjalan seperti kakek-kakek. Ha ha... Gembiralah pada setiap perkembangan baik seperti ini.

Jalan-jalan

Sepulang dari kantor pos pagi tadi saya menggandeng tangan Rasyad untuk berjalan di sepanjang trotoar jalan besar Kiaracondong. Tentu ini bukan pertama kalinya dia melewati jalan itu, tapi melewatinya dengan menapakkan kaki sendiri di atas tanah memang pengalaman pertama. Dan pengalaman pertama yang membuat dia girang luar biasa.

Begitu saya menurunkannya dari gendongan, dia tersenyum lebar dan mendongakkan kepala ke arah saya sambil mengernyitkan wajah--kebiasaan barunya untuk menunjukkan rasa senang. Kendaraan yang berseliweran sangat ramai tidak membuatnya takut. Dia malah beberapa kali mencoba menarik saya ke arah jalan. Tentu dia pikir lebih asyik kalau dia bisa menyentuh benda yang berlari kencang itu--karena menyentuh adalah salah satu cara dia untuk mengetahui, apalagi kalau sampai berhasil memasukkannya ke mulut dan membantingnya. Tentu saja saya menahan dia ke arah berbeda. Langkahnya terbelokkan ke arah selokan dalam di kiri trotoar. Ada air. Itu sesuatu yang menarik juga. Oh, dia ingin melangkahkan kaki masuk ke dalam jurang itu.
Setiap langkah penuh bahaya baginya, tapi biarlah saya beri sedikit lagi kebebasan buat dia untuk menikmati pengalaman pertama ini. Di bawah pohon-pohon ada sesuatu yang berwarna kuning. Sampah bekas cawan kertas Lipton Tea menarik perhatiannya. Dia ingin memungutnya. Hmmm, saya tahan lagi. Ada daun-daun kering coklat. Itu juga menarik untuk dipegang. Tapi saya tidak membiarkan itu. Dia tidak terlalu marah dilarang ini itu karena perjalanan ini menyuguhkan banyak atraksi menarik lain. Dia belokkan langkahnya ke arah gerbang kompleks Denjasa yang dijagai. Saya hanya menyunggingkan senyum kepada tentara yang ada di pos gardu, mudah-mudahan mereka maklum dengan langkah polos seorang bayi ke arah mereka. Sampai ke mulut jalan Sekejati saya masih membiarkan Rasyad berjalan. Jalan ini tak bertrotoar, tidak aman, terlalu ramai. Tapi kalau saya punya waktu dan energi lebih banyak untuk menjagainya, saya akan membiarkan dia berjalan sampai capek.

Delapan bulan berlalu

Usia satu tahun dua bulan, Rasyad masih belum bisa berjalan. Oh ya, dia senang sekali menarik tangan kita untuk menggiring dia berkeliling ke mana dia suka, tapi begitu kita mencuri kesempatan untuk membiarkan dia berdiri sejenak tanpa berpegangan dia protes, cemas mencari-cari pegangan. Kelihatannya dia bukannya belum bisa berdiri sendiri, hanya belum punya keyakinan diri bahwa dia bisa. Coba saja kalau dia sedang asyik memegang suatu barnag dengan kedua tangannya, dia lupa bahwa dia sedang berdiri tanpa penopang, itu bisa berlangsung sampai hitungan puluhan detik. Tapi begitu kesadaran akan posisi itu tiba, dia segera mencari sandaran. Huwa ha ha... Saya menyebut itu sebuah gejala perfeksionis, tidak berani mencoba, takut gagal. Huh, saya ini penuh prasangka ya. Haha ha lagi.

Berbeda dengan Hanifa yang cepat sekali belajar berjalan. Umur sepuluh bulan sudah berani berdiri tanpa pegangan, umur satu tahun sudah berjalan bebas, berlarian di rumput, bisa kejar-kejaran bola di taman. Siapa bilang anak laki punya perkembangan motorik yang lebih cepat. Tidak terbukti untuk kasus kedua anak ini. Tapi siapa yang butuh manual untuk mengamati perkembangan anak. Mereka punya jalur perkembangan sendiri, berbeda setiap individu.

Rasyad sepertinya sudah mulai menyimpan beberapa patah kata di dalam otaknya. Dia sudah mengenal beberapa kata benda: sepatu, kunci, lampu, sepeda, motor, helm, pintu, kamar mandi, pesawat, komputer, printer, ayah, ibu, kakak. Nama-nama binatang: kucing (favoritnya), kupu-kupu, cecak, belalang, lebah, semut, burung. Kata kerja: pergi, minum, makan, jalan. Dia juga mulai mencoba mengucapkan beberapa patah kata, walaupun bunyinya masih harus kita tebak-tebak dan sebagian besar menghilangkan konsonan: apa, halo, ibu, kakak. Dia akan menyahut kalau dipancing untuk meniru atau menyambung perkataan: Alif, disambutnya dengan bunyi "ba" atau "ta/da". Shalat disambutnya dengan bunyi yang dia rasa mirip dengan "Allahuakbar" dengan bentuk mulut menjadi sangat lonjong.
Merangkaknya sudah "sempurna" sekarang, bukan lagi merayap dengan gaya kupu-kupu. Tangannya sudah ikut melangkah, dia tinggal melatih kecepatannya untuk bisa menang lomba merangkak dengan Hanifa. Dia berusaha memanjati apa saja yang ditemukan dalam perjalanannya: kursi, meja, kasur, atau punggung kita yang lagi duduk di lantai. Dan menjadi omnivora yang memakani apa saja yang dapat dicapai tangannya: sandal, pinggiran karpet, keran, kursi meja atau mouse komputer.

Dia masuk ke tahap baru dalam berebut mainan dengan Hanifa. Tidak bisa lagi menghiburnya dengan menawarkan mainan lain. Kalau mau yang itu ya harus yang itu, dia bertahan memegang apa yang dia inginkan dan menangis marah kalau mainan itu diambil.