Rasyad berumur satu bulan tiga hari. Ketika ditimbang di rumah sakit kemarin, berat badannya adalah 4,5 kg. Saya terkejut. Saya menduga beratnya paling banyak sekitar 3,8 hingga 4 kg. Kenaikan berat badan lebih dari 1,5 kg dalam satu bulan terasa terlalu banyak, padahal dia sama sekali tidak diberi susu tambahan. Semoga dia tidak jadi bayi yang kegemukan.

Pemeriksaan dokter menemukan sedikit keganjilan pada bunyi jantung Rasyad. Berulang kali dokter Sugitachi yang biarawati itu mengecek dada kirinya dengan stetoskop. Ada bunyi yang tidak biasa, katanya. Sejumput cemas menyelinap di hati saya, ada kelainan jantung? Tapi kecemasan itu tidak terlalu kuat karena selama ini dia terlihat baik-baik saja, pertumbuhannya juga normal, seperti yang tersimpulkan dari pertambahan berat badannya yang tercatat hari ini. Tapi siapa tahu. Dokter Sugitachi memanggil dokter Kobayashi yang ahli jantung anak untuk memeriksa Rasyad dengan lebih cermat. Setelah mendengarkan pulsanya dengan stetoskop, dokter Kobayashi merasa perlu untuk memeriksa lebih jauh menggunakan usg di ruang kardiologi.

Saya duduk menunggu giliran dipanggil di depan pintu bagian kardiologi. Di sebelah saya seorang bapak tua, mungkin mantan direktur sebuah perusahaan besar. Penyakit jantung biasanya menimpa orang-orang yang demikian, tapi kelainan jantung bawaan lahir--meski jarang terjadi--tetap mungkin menimpa seorang bayi. Saya siap menunggu--atau lebih tepatnya, mempersiapkan diri untuk menerima--kabar terburuk.

Saya tidak mengerti apa yang saya lihat di layar monitor ketika dokter Kobayashi menyapukan panel usg di dada kiri Rasyad. Sebuah organ bersekat yang berdenyut tanpa henti tidak bisa saya kenali kondisi normal atau tak normalnya. Dokter menjelaskan bahwa pada jantung Rasyad ada kondisi yang diistilahkan sebagai innocent heart murmur, keadaan yang kadang muncul pada bayi, di mana ada bunyi yang agak tidak biasa pada jantung, tapi kondisi ini lazimnya tidak berbahaya dan akan hilang dengan sendirinya setelah beberapa waktu.

Ini istilah yang sama sekali asing bagi saya. Saya belum pernah mendengar tentang itu sebelumnya, demikian pula Mas Budi. Malam itu saya mencari informasi dengan keyword ketiga kata itu di google. Artikel yang saya baca di situs medicdirect.co.uk menenteramkan hati saya. Tapi kini setiap memandang Rasyad saya membayangkan jantungnya yang berdetak dengan mengeluarkan suara berisik. Saya ingin bisa mendengarkannya sendiri--mungkin ada pesan yang dia sampaikan lewat suara hatinya?
bayi tidak mengenal pergantian waktu siang dan malam. mereka tidur nyaris 18 jam dalam sehari, diselingi menyusui setiap 2-3 jam. tapi ada bayi yang punya kecenderungan untuk banyak terjaga di waktu malam, mereka menyusu lebih lama di malam hari dan sulit diajak tidur lagi.

pada hari-hari awalnya, rasyad termasuk bayi yang seperti itu. suatu kali dia pernah tidak mau tidur dari pukul dua hingga lima pagi, pernah pula dia terbangun nyaris tiap satu setengah jam. tangisannya terdengar lebih keras di tengah malam, membuat kami khawatir mengganggu tetangga. tapi di pagi hari, setelah dimandikan sekitar pukul sembilan pagi, biasanya dia bisa tidur nyenyak tanpa jeda selama tiga jam, tidak terbangun oleh keributan kegiatan, bahkan ketika mesin vacuum menyala.

kini tidak lagi. sejak jadwal mandinya dipindah ke malam dua minggu yang lalu , dia mulai ikut dalam kebiasaan manusia normal untuk lebih banyak tidur di waktu malam dan bangun di siang hari. malam kemarin dia membuat rekor dengan hanya sekali bangun (pukul dua) dan sama sekali tidak perlu ganti popok karena tidak buang air besar hingga pukul enam pagi. ini berbeda sekali dengan pengalaman bersama bayi hanifa. saya pernah merasa rindu sekali dengan tidur malam yang panjang dan nyenyak karena sampai sekitar umur tiga bulan dia bangun malam lebih dari dua kali. tapi barangkali karena saat itu pengalaman pertama, semuanya terasa lebih berkesan karena sangat kontras dan baru.
Bayiku

Memandang wajahmu, aku berangan-angan tentang suatu hari
ketika kau telah dewasa, sibuk mencari tempatmu di dunia,
menjelma seorang pemuda yang selalu memanggilku bunda.
Di manakah engkau saat itu,
dekatkah sehingga untuk bicara setiap hari
kita hanya perlu mengetik daun pintu,
jauhkah sehingga untuk mendengar suaramu
aku perlu menekan beberapa tombol angka
Memandang wajah teduhmu, aku yakin
Tuhan tidak akan pernah bosan mengirim lagi seorang manusia baru
untuk pelipur bagi dunia yang kian penuh nestapa
Mengingat kerinduanku nanti,
aku ingin membenamkan wajahku dalam-dalam di lekuk lehermu kini

Kemarin Rasyad dibawa ke Koganei Koen. Cuaca tidak begitu baik ketika kami berangkat. Meskipun paginya kelihatan sangat cerah, awan putih merata dan angin dingin bertiup kencang mulai sekitar pukul sepuluh. Tapi kami sudah terlanjur berjanji kepada Hanifa untuk membawanya bermain ke sana sejak jumat lalu. Tidak mudah untuk membatalkannya. Kami piknik di salah satu saung di dalam taman. Udara dingin sekali, sesekali angin membawa embun salju, untuk kami. Rasyad yang berada dalam gendongan saya mulai terbangun dan menangis. Saya membalutnya dengan selimut. Segera setelah makan siang selesai, kami beranjak masuk ke ruang tunggu museum. Saya memutuskan untuk menunggu di sana selama Hanifa bermain ditemani oleh ayahnya.

Udara dingin membuat Rasyad tidur lebih nyenyak. Tapi dia memang selalu tidur dalam tiga perjalanan keluar rumah yang pernah saya lakukan sejak dia lahir. Waktu ke rumahsakit dan pergi belanja ke Coop, dia tidur sejak awal sampai akhir. Botol susu yang saya sediakan sebagai cadangan kalau-kalau dia butuh minum dalam perjalanan kadang tidak jadi diminum sampai tiba di rumah lagi. Siang itu dia terbangun pukul setengah dua, dan saya menyusuinya sambil duduk di ruang tunggu yang cukup ramai itu. Untungnya yang duduk di bangku sebelah saya adalah seorang ibu, saya tidak kesulitan untuk menyamarkan tindakan saya menyusui di tempat terbuka seperti itu. Lima belas menit menyusu, Rasyad kembali terlelap. Hanifa dan ayahnya datang lima belas menit kemudian, dia masih tertidur ketika saya ganti popoknya di toilet. Kunjungan pertamanya ke koen ini rupanya bukan sebuah pengalaman yang terlalu menyenangkan untuk diingat.
Apa yang terlihat oleh mata seorang bayi? Dia membelalak ke sana ke mari seperti sedang mencari-cari sesuatu, ingin merekam segala yang dapat terlihat di sekelilingnya. Dia menatap wajah orang yang menggendongnya, dia melihat ke mata kita, kita bereaksi memberinya senyuman, tapi persis pada saat itu dia mengalihkan sorot matanya ke arah lain. Ada yang lebih menarik daripada senyum itu, barangkali dia melihat malaikat di sana.
Memandang wajah bayi menumbuhkan cinta. Dia tidak melakukan apa-apa. Dia tidak memberikan reaksi pada ucapan kita. Dia tidak membalas senyuman dan sentuhan kita. Dia pasif sepenuhnya. Menangis adalah satu-satunya cara dia menyampaikan apa yang dia butuhkan untuk bertahan hidup. Tapi dengan semua kepasifan dan ketidakpeduliannya, di tengah tuntutannya yang tidak bisa ditunda, dia membangkitkan dalam diri kita sebuah emosi yang barangkali kita tidak pernah sadar ada.


Mirip siapa dia? Sulit untuk menjawabnya. Raut wajah bayi yang masih merah dan montok itu sulit untuk dilihat kemiripannya dengan wajah orang dewasa yang kasar dan penuh garis tajam. Saya lebih gampang mengatakan bahwa wajah Rasyad mirip dengan wajah Hanifa ketika bayi. Foto paspor mereka, jika dijejer, nyaris bisa dibilang merupakan rekaman wajah orang yang sama. tapi, mencari kemiripan dengan kita pada wajah anak sebenarnya bukan untuk keperluan identifikasi. hanya untuk melayani ego kita yang ingin mengabadi dan menjejakkan diri pada sosok yang lebih muda, dan lebih suci itu.
Blog ini berubah nama. Selama saya hamil, alamat webnya adalah lineanigra.blogspot.com, saya menjudulinya sebagai pregnancy journal. Kini diganti menjadi rasyad.blogspot.com, catatan untuk anak kedua. Rupanya belum ada seorang Rasyad lain yang mengambil spot ini.

Kami tidak mempersiapkan nama untuk anak kedua ini secara khusus. Nama Tomi yang sering kami gunakan untuk memanggilnya selama dalam kandungan terasa kurang pas di hati. Hanifa menemukan nama itu dan menggunakannya dengan konsisten untuk mengajak bicara adiknya yang masih di dalam perut. Kami ikut menggunakannya. Belum ada kepastian tentang jenis kelaminnya, tapi Hanifa sejak awal yakin kalau adiknya ini bakalan laki-laki. Dan, nama Tomi rasanya cocok saja waktu itu.

Mas Budi menyiapkan usulan nama untuk anak laki dan perempuan beberapa saat sebelum kami berangkat ke rumahsakit Senin malam. Untuk anak perempuan ada nama Tasnim, dan tiga nama lain. Untuk anak laki ada nama Zia, Aqil, Rasyad, dan satu nama lain. Saya sendiri tidak punya usulan nama. Saya melihat sekilas daftar nama yang ditulis Mas Budi di halaman belakang buku agenda hariannya itu, tapi tidak segera menentukan pilihan meski ada nama-nama yang segera terasa tidak pas dan tidak masuk hitungan, misalnya Tasnim dan Aqil.

Begitu si bayi lahir dan diketahui jenis kelaminnya, Mas Budi berbisik menanyakan nama apa yang saya pilih. "Rasyad," jawab saya tanpa ragu. Jadilah dia bernama Rasyad Dermawan (setelah dikonfirmasikan bahwa transliterasinya menggunakan 'sy' bukan 'sh'), dengan panggilan Tomi yang tetap lekat sampai hari ini.
Setiap kelahiran adalah sebuah drama. Drama yang unik, karena tidak seorang pun tahu jalan bagaimana yang akan ditempuh seorang bayi untuk hadir ke dunia. Proses kelahirannya tidak dapat dipastikan. Tak ada yang tahu apakah dia akan segera lahir atau tidak bahkan ketika sang ibu sedang mengalami awal kontraksinya. Drama yang akan senantiasa dikenang, setiap rinciannya direkam, untuk diceritakan kembali sebagai salah satu pengalaman terpenting dalam hidup. Drama yang unik karena menghadirkan individu yang unik ke pentas dunia.

Saya menjalani sebuah drama seperti ini untuk kedua kalinya kemarin. Drama unik itu mencapai klimaksnya pada hari Selasa 17 Februari 2003, pukul 03:18 pagi, dengan kelahiran seorang bayi laki-laki, yang diberi nama Rasyad Dermawan. Dia lahir dengan berat 2914 gram dan panjang 50 cm. Angka-angka ini juga termasuk dari bagian rincian cerita yang direkam dengan cermat. Dan, saya nyaris tidak bisa mengandalkan pengalaman sebelumnya untuk dapat meramalkan sedikit tentang apa yang akan saya alami kini.

Saya tidak yakin apakah ketika kontraksi mulai teratur, saya berarti akan segera melahirkan. Saya masih menunggu tanda-tanda seperti yang saya dapatkan dalam proses melahirkan anak pertama. Tapi ternyata jalannya memang berbeda. Anak kedua ini lahir tanpa didahului tanda-tanda bercak darah, atau keluarnya cairan apa pun. Dia hanya memberi tanda lewat gelombang kontraksi yang datang perlahan seperti tsunami, riak-riak kecil yang kian lama berubah menjadi ombak besar menggulung apa pun yang dilaluinya.

Drama itu berawal pada minggu malam 15 Februari. Saya mulai merasakan kontraksi. Malam itu saya tidak bisa tidur nyenyak, beberapa jam saya lewatkan dengan tidur menyandar di kursi karena punggung saya tidak nyaman. Jarak antara kontraksi tidak teratur, antara 15 sampai 20 menit dan lamanya antara 10-15 detik. Kontraksi ringan ini sempat berhenti sekitar pukul 12 malam hingga 4 pagi, kemudian muncul lagi dengan rasa sakit yang lebih kuat sekitar tengah hari. Saya masih tidak menganggapnya serius--bahkan curiga bahwa yang sedang saya alami ini adalah kontraksi palsu, karena tidak ada tanda-tanda yang lain. Tapi nyeri kontraksi itu bertahan dan terus berulang semakin teratur. Setiap kali gelombang sakit itu datang, saya jadi tidak bisa berbuat apa-apa, terpaku di tempat sambil meregang menahan sakit.

Menjelang sore saya mulai memikirkan kemungkinan bahwa ini memang merupakan tanda awal proses kelahiran. Saya menelepon ke Padang dan meminta saran. Saya pun menelepon teman yang pernah mengalami kontraksi palsu. Mereka semua menyarankan agar saya memeriksakan diri ke dokter atau bidan. Beberapa kali sepanjang hari itu Mas Budi menelepon untuk menanyakan keadaan saya. Saya selalu mengatakan keadaan saya masih baik-baik saja, dan merasa masih jauh dari kemungkinan melahirkan segera. Tapi pada pukul lima sore, saya menelepon ke lab, minta pertimbangan apa yang mesti dilakukan karena kontraksi terasa semakin sering dan nyeri. Mas Budi menyarankan saya menelepon ke bagian obgyn rumahsakit, mereka akan bisa memutuskan apakah saya perlu segera datang ke rumahsakit atau tidak. Mas Budi pulang ke rumah pukul enam. Saya menelepon rumahsakit pukul 6:30, dan kami berangkat ke sana pukul 7 malam itu.

Pemeriksaan pertama mendapatkan bahwa saya sudah mengalami dilatasi dua sentimeter. Malam itu saya dimonitor dengan nonstress test dan masuk ke ruang jintsu (labour room). Pukul sepuluh dilatasi 3 cm. Gelombang tsunami yang mulanya beriak kecil itu terus bergerak, mengumpulkan kekuatan sepanjang jalan, berubah menjadi gelombang besar yang menghanyutkan semua basa-basi, menghantam selama beberapa menit, kemudian surut, menghilang, menjauh, perlahan-lahan datang lagi dengan kekuatan yang makin bertambah. Proses pembukaan jalan lahir berlangsung cepat pada kehamilan kedua ini. Dua jam kemudian saya sudah berada pada tahap dilatasi 7 cm, dan segera bersiap masuk ke ruang bersalin pada pukul 2 pagi.

Kelahiran adalah sebuah peristiwa alam yang agung. Saya, sedapatnya, ingin mengalami proses itu tanpa interupsi medis yang terlalu banyak, untuk bisa merasakan sakitnya dengan penuh, merangkul seluruh pengalaman itu dengan utuh. Tapi ada keadaan tidak terelakkan ketika orang mesti menjalaninya lewat bedah caesar atau menggunakan obat pengurang rasa sakit, seperti yang dilakukan teman sekamar di rumah sakit. Dia menjalani proses bersalin yang singkat dan tidak menyakitkan karena diberi obat. Dia kehilangan sebuah pengalaman yang luar biasa sebagai perempuan.

Mengapa proses melahirkan itu harus ditandai dengan kesakitan yang begitu dahsyat? Barangkali karena itulah harga yang mesti dibayar untuk menembus batas antara ada dan tiada. Ketika sedang menjalani drama itu, saya mengatakan pada diri sendiri, cukuplah pengalaman ini untuk terakhir kalinya. Mengapa menyiksa diri sebegitu berat untuk melahirkan lagi seorang manusia. Rasa sakit yang sedang saya derita saat itu seperti akan terus tersisa. Tapi, Tuhan menganugerahkan kita kemampuan untuk lupa. Hari ini, ketika untuk pertama kalinya saya menimang bayi kecil yang semalam menerobos jalan keluarnya, melihat senyum refleksnya yang tidak ditujukan untuk siapa-siapa, wajahnya yang teduh, saya berpikir, sungguh hadiah yang dahsyat untuk drama yang begitu berat.